Penulis : | Tanggal : |
DJPPI | September 11,2022 |
Para menteri kebudayaan negara - negara anggota G20 melakukan pertemuan di Pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, dalam "Ministerial Meeting on Culture G20" tanggal 11 hingga 14 September 2022.
Pertemuan di Magelang kali ini memiliki nilai strategis guna mengokohkan kembali pesan pentingnya kebudayaan sebagai pengungkit sejarah dan masa depan semua sektor kehidupan, termasuk sektor sosial-ekonomi berkelanjutan, sekaligus mendorong akselerasi transformasi digital di semua bidang, khususnya pasca pandemi Covid-19.
Indonesia sendiri berkomitmen untuk terus mengedepankan semangat gotong royong dalam pertemuan tingkat menteri itu, sebagai upaya mengombinasikan antara tradisi kebudayaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat saat ini, sehingga tercipta praktik gaya hidup berkelanjutan yang modern berbasis kebudayaan. Dalam kegiatan tersebut, Indonesia menawarkan gagasan untuk dilakukannya penggalangan dana abadi bagi kemajuan kebudayaan lokal, maupun internasional dalam tema "Global Arts and Culture Recovery Fund". Dana yang terkumpul akan dipakai untuk membantu pelaku budaya yang terdampak pandemi, serta untuk memperluas penerapan gaya hidup berkelanjutan. "Global Arts and Culture Recovery Fund" nantinya juga untuk membantu akselerasi pemberdayaan dan perkembangan ekonomi biru berbasis seni dan budaya, membantu membangun sektor pendidikan dan kebudayaan, serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan di masa depan.
Untuk mendokumentasikan momentum bersejarah ini, serta mengabadikan semua prosesi pertemuan tingkat menteri kebudayaan tersebut Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika - Kominfo, bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, menerbitkan " Prangko dan Sampul Peringatan" (SP) berupa lukisan bertajuk “Borobudur Glitch”, menampilkan visual Borobudur yang dikenal sebagai oase ketenangan (serenity) di tengah hiruk-pikuk peradaban. Borobudur ditampilkan dengan imbuhan "glitch" pada penampakannya, menandakan sebuah disrupsi sebagai pengingat berbagai tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian Borobudur di masa datang.
Borobudur Glitch dilukis oleh Alit Ambara, seniman yang saat ini bermukim di Yogyakarta, menarasikan pentingnya pelestarian dan pengembangan lingkungan melalui kebudayaan sebagai tanggung jawab bersama secara berkelanjutan. Prangko ini dirancang dengan pesan "Kebudayaan untuk Kehidupan Berkelanjutan" (Culture for Sustainable living). Dalam konteks pelestarian lingkungan, sustainable living dapat diartikan sebagai gaya hidup ramah lingkungan yang mencoba membatasi penggunaan sumber daya bumi dan produk-produk yang berdampak buruk untuk lingkungan. Konsep sustainable living ini digaungkan semata-mata untuk melindungi bumi dan sumber dayanya guna kehidupan berlanjutan yang lebih baik saat ini maupun di masa mendatang, melalui transformasi kebudayaan. Konsep hidup ramah lingkungan ini dapat terapkan di berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Rencananya Prangko dan Sampul Peringatan Borobudur Glitch ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dan akan dibagikan sebagai souvenir bagi para delegasi dari berbagai negara. Dengan demikian maka " prangko dan sampul peringatan" itu telah mengambil peran sebagai sarana promosi wisata kebudayaan terutama candi Borobudur ke seantero dunia.
Penerbitan Prangko dan Sampul Peringatan Borobudur Glitch diharapkan mampu menginspirasi lahirnya inisiatif baru dalam mengantisi tantangan global yang terbukti telah mendisrupsi kebudayaan. Hal itu ditandai dengan tergerusnya budaya asli suatu daerah atau negara, terdegradasinya nilai-nilai budaya yang mempengaruhi kadar nasionalisme dan patriotisme, seperti hilangnya karakter asli, hilangnya semangat saling asah, saling asih, dan saling asuh, serta lunturnya jiwa gotong royong, kehilangan kepercayaan diri, dan gaya hidup yang cenderung imitasi atau meniru. Oleh sebab itu Borobudur Glitch diharapkan dapat menjadi conductor dalam pengelolaan dampak globalisasi dalam perspektif kebudayaan, dengan membangun kehidupan manusia melalui kebudayaan masa depan berkelanjutan.
Pada akhirnya kita berharap, pertemuan Borobudur juga harus menjadi inisitif baru dalam memosisikan kebudayaan sebagai pilar pembangunan, melalui pesan dan tema yang diusung secara lebih membumi, sehingga memberikan resonansi kebaruan dalam memyiasati tantangan global tersebut, dan bukan sekedar ritualitas pelengkap menuju KTT puncak di Bali nanti.
Selain mengikuti prosesi Penandatangan Prangko dan Sampul Peringatan "Borobudur Glitch", para delegasi dijadwalkan juga akan mengikuti kirab budaya, yang berlangsung dari Pawon sampai Candi Borobudur, disusul malam Ruwatan Bumi di Candi, dengan melibatkan masyarakat adat Nusantara dan para seniman dari berbagai kota.
Oleh: Eko Wahyuanto
Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya Kominfo dan Dosen Pancasakti University